Bedah Buku Panduan Jelaja Kota-Kota Pusaka di Indonesia
Medan, Jakarta, Cirebon, Bandung, Semarang, Yogyakarta,
Surakarta, Surabaya dan Malang
Penulis: Emile
Leushuis
Editor: Catrini Pratihari Kubontubuh dan Aditya Pratama
Penerjemah: Vini
Widyaningsih
Penerbit: Ombak
I. TENTANG BUKU
[1]
Pertama-tama saya mengucapkan selamat kepada semua pihak
yang telah berupaya maksimal hingga lahirlah “Panduan Jelajah” ini. Sudahlah pasti bahwa,
buku ini sangatlah berguna bagi masyarakat dunia secara umum dan Indonesia
secara khusus karena banyak tenaga dan waktu yang dapat dihemat secara efektif untuk
mempersiapkan perjalanan di kota-kota pusaka Indonesia.
Selain untuk tujuan wisata, buku ini juga akan menjadi
sumber informasi mengenai kota dan arsitektur pada masa sebelum Kemerdekaan yang
kaya. Saya sangat yakin pembaca berlatar belakang sejarah, seni, arsitektur,
tata kota, arkeologi, budaya, pecinta Bandung dan pencinta isu-isu konservasi akan
menikmati buku ini, baik untuk tujuan-tujuan penggalian informasi, pengetahuan maupun
verifikasi dan kritik. Lebih dari itu, Indonesia sendiri yang pernah
menjadi bagian dari sejarah Eropa sendiri tentunya akan menjadikan buku ini
cara untuk berapresiasi dan bernostalgia bagi masyarakat Eropa. Saya sering
mendapati para pelancong berusia senja yang merupakan keturunan atau bahkan
pernah menjadi tinggal di Indonesia. Keluarga kamipun kini memiliki kontak
langsung dari Belanda yang ternyata sempat tinggal di rumah yang sama.
[2]
Buku ini disusun oleh bapak Emile Lieshuis yang didukung
oleh jaringan lembaga dan komunitas
pelestarian pusaka bangunan kota. Menarik sekali bahwa buku yang sarat dengan
konten arsitektur dan kota ini ditulis
oleh seorang geografer yang berprofesi sebagai pemandu wisata. Karena itu dalam
kesempatan ini saya ingin terlebih dahulu mewacanakan buku “panduan jelajah”
ini dalam konteks fenomena “panduan perjalanan” dan “panduan arsitektural” dan
perkembangan apresiasi dan pengetahuan mengenai arsitektur dan kota. Secara
harfiah sebuah panduan merujuk pada kegiatan memandu yaitu kegiatan yang
bersifat mengarahkan pelancong kemana
harus pergi, bagaimana harus bersikap dan betindak. Sebuah panduan tidaklah
sama dengan “peta” atau “petunjuk”. Sebuah peta adalah sebentuk representasi
dua dimensi suatu daerah, sedankan “petunjuk” adalah instruksi berbasis teks
untuk mencapai obyek pada daerah tujuan tersebut.
Secara baku sebetulnya kita mengenal ungkapan “panduan perjalanan” (travel guide) dan “panduan arsitekural”
(architectural guides). Sebuah
“panduan perjalanan” mengandung informasi “peta” dan “petunjuk” yang dibutuhkan
untuk mencapai daerah tujuan. Sementara sebuah “panduan arsitektural” (architectural
guides) mengandung semua informasi
yang dibutuhkan setelah sang pelancong tiba di sebuah daerah yang dituju untuk
menemukan bangunan yang ditujunya dan informasi yang bermanfaat bagi apresiasi.
Sebuah “panduan arsitektural” tak memiliki tuntutan memberi arahan bagaiman
pelancong menemukan tempat
tinggal atau membeli makanan- Informasi
seperti itu diperoleh pada “panduan perjalanan”. Ada banyak motivasi dan alasan sebuah
“panduan arsitektural” dibuat, bisa jadi karena karena keunikan fungsi dan desainya, karena
peristiwa dan sejarahnya; fungsi relijius dan kejemaahanya, ataupun nilai-nilai
artistik, sosial dan emosionalnya. Bisa juga ia dibuat sebagai sarana ajar maupun
sebagai sebagai sebuah teks.
Namun alasan paling utama sebuah buku panduan perjalanan dan
panduan arstektural adalah karena obyek arsitektural tersebut penting untuk
dikunjungi secara langsung. “
[3]
Dalam budaya Barat, kegiatan verbal mengekspresikan sebuah
obyek tujuan perjalanan sudah ada sejak jaman Yunani. Trend ini muncul seiring
dengan kian ramainya perjalanan lepas laut. Buku epik Herodotus bahkan sempat disebut
sebagai bentuk awal dari catatan perjalanan (Oddysey) pada tahun 400SM. Komponen naratif buku ini adalah kumpulan
kisah sebuah tempat, deskripsi tentang manusia, kebiasaan dan ritualnya, hingga
struktur bangunan yang ada. Namun dalam konteks Oddysey ini informasi yang disampaikan masih bercampur antara mitos
dan kenyataan.
Pada abad 9M para pelaut banyak menulis catatan perjalanan
secara anonim yang kemudian dikompilasi dalam sebuah rekaman yang disahkan
lembaga gereja dan disebut sebagai Codex.
Dalam Codex ini Fisik lingkungan, struktur, orientasi alam maupun bentuk bangunan
dijelaskan dengan lengkap. Lewat catatan-catatan perjalanan inilah arsitektur mulai
tercatat dan menjadi salah satu embrio pengetahuan, karena Arsitektur sendiri
menjadi salah satu referensi utama untuk mengenali sebuah tempat baru.
Pada abad ke 14 sesudah masehi atau abad Pertegahan alat cetak memungkinkan produksi masal
‘panduan perjalanan” yang memunculkan tradisi handbook dan pamflet, sebagai panduan perjalan terutama untuk
kegiatan ziarah. Secara khusus, format sebuah
handbook dibuat demi kenyamanan genggaman tangan. Sekalipun peta belum menjadi bagian utama,
namun informasi mengenai jalur yang mengarahkan sudah mulai dibuat. Deskripsi
kota Roma banyak diproduksi karena banyaknya pelancong datang ke Roma untuk
urusan ziarah mengunjungi gereja-gereja bersejarah beserta relic dan
artefak relijius lainya. Alasan lain
adalah bisnis. Salah satu terbitan “panduan perjalanan” di masa ini adalah panduan ziarah” Mirabilia Urbis Romae, atau “Keajaiban Kota Roma”. Versi revisinya
sempat ditulis oleh Leon Batista Alberti dalam Descriptio urbis Romae. Seperti kita ketahui Pada kurun waktu yang
bersamaan Alberti juga menulis ulang buku catatan pertukangan Vitruvius.
Pada masa Renaisans, Andrea Palladio membuat buku serupa ini - Panduan mengenai
kota Roma (La Chiese ) yang berisi
senarai gereja di Eropa. Palladio tidak hanya mencatat aspek relijius namun
juga apresiasi yang lebih rasional dan manusiawi. Upaya mengorganisasikan
informasi yang mempertimbangkan efisien waktu mulai dilakukan. Memang, di masa
Renaisans ini, seiring semangat pencerahan, stimulasi semangat jelajah baru adalah rasa “penasaran”. Di jaman sebelumnya, persepsi perjalanan
berasosiasi dengan ancaman dosa dan ketakpantasan. Di masa Renaisans, buku panduan lebih dibuat untuk tujuan menjawab
keingin tahuan mengenai dunia-dunia di luar batas, terutama dikalangan para
cerdik pandai. Melancong menjadi sebuah gaya hidup populer, yang kemudian
memunculkan istilah “Grand Tour” , yaitu
sebuah konsep melancong bagi kalangan
pelajar Eropa untuk mengenali
pusat-pusat budaya Eropa yang difasilitasi publikasi instruksi
perjalanan luar negri (dibuat oleh James Howell, tahun 1642). Tradisi ini
berlanjut hingga abad 18.
Buku panduan yang lebih sistematis dengan klasifikasi
informasi yang lebih teratur dibuat oleh Herarius Pyrksmair dkk (Theodor
Zwinger, Justin Hierony- mus Furler) pada abad 17 dalam bentuk buku saku
berjudul Commentariolus de arte apodemica
seu ver peregrinandi ratione (1577).
Francis Bacon menulis panduan dalam bentuk essay pertanyaan “Of Travel”(1612). Tulisan-tulisan ini
mulai menggunakan metoda-metoda yang khusus dan merujuk pada
pengalaman-pengalaman pelancong terdahulu. Pada masa ini secara fungsional buku
panduan seperti ini menjadi penting karena “melancong” adalah sebuah kegiatan
yang mengandung bahaya dan karenanya membutuhkan sistem informasi yang akurat. Singkat kata, berkat
produksi buku-buku panduan perjalanan dan panduan arsitektural, pada akhir abad
19 koleksi deskripsi kota di Eropa menjadi kian lengkap. Informasi yang
dirancang pun disesuaikan dengan kebutuhan gaya hidup dan kelas sosial
pembacanya, seperti panduan perjalanan khusus untuk mengenal gereja, biara.
Kastil dan hunian bangsawanan kuno.
Seiring berkembangnya sosialita para “pelancong”, buku “panduan perjalanan” dan
“panduan arsitektural” mulai menjadi industri. Salah satu inovatornya adalah Karl
Baedeker (1801 –1859) dan perusahaan swasta mulai ikut serta sebagai sponsor
pembuatan panduan perjalanan (seperti yang dilakukan perusahaan ban Michelin
untuk membuat Green Guides). Pada
abad 18 peta mulai menjadi bagian penting pada sebuah panduan perjalanan
arsitektural dengan bangunan arsitektural menjadi rekaman awalnya. Di Amerika “panduan perjalanan: ini pernah
populer karena kebutuhan perjalanan para imigran baru untuk masuk ke Amerika.
Dan bagi migran lama di Amerika, “panduan arsitektural” dibutuhkan bagi
kalangan atas untuk melancong ke Eropa mempelajari budaya adiluhung Eropa.
Pada tahun 1935 di Amerika
pembuatan buku panduan perjalanan dan panduan arsitektural menjadi
sebuah proyek nasional Works Progress
Administration, yandibawah instruksi presiden pada waktu itu Rooevelt. Konsep ini masih dipakai
hingga tahun 1984 dan menjadi bentuk kompromi publikasi yang menggabungkan konsep
panduan praktis “practical guidebook”
dan kompendium kesarjanaan, dan
merupakan cikal-bakal penulis buku kompendium bangunan di Amerika, lengkap
dengan peta dan deskripsi kesejarahanya. Bagi beberapa kalangan buku-buku
seperti ini bahkan disebut sebagai modus untuk mengimbangi popularitas gerakan seni
radikal Arsitektur Modern di Eropa dan Amerika.
Setelah perang dunia kedua, seiring dengan pembanguna jalan raya, industri bahan bakar menjadi
spnsor utama industri publikasi panduan perjalanan. Nikolaus Pevsener, yang
terkenal dengan pengalamanya mengenai arsitektur Eropa Klasik dan buku-buku
tipologi arsitekturnya, menjadi salah satu kontributor di sekitar tahun 1951
dan 1974. Pada
tahun 1960-an perusahaan Reinhold
Publishing Corporation di New York
memproduksi A Guide to New York Architecture 1650–1952.
, bekerjasama dengan asosiasi arsitek Amerika AIA. Ini mungkin bisa dilihat
sebagai bentuk formal kombinasi antara institusi profesional arsitektur dan
institusi pariwisata. Buku Panduan
perjalanan dan arsitkural utama terakhir di Amerika adalah serial Buildings of the United States (BUS)
pada tahun 1993 yang dibuat dalam rangka upaya dokumentasi pusaka arsitektur di
Amerika Serikat sekaligus sebagai bentuk sambutan dari Masyarakat Sejarah
Arsitektur di Amerika - Soci ety of Architectural Historians
(SAH) terhadap kerja dokumentasi
Nikolaus Pevsner yang mendasari versi Amerika buku Pusaka bangunan Inggris.
Pada tahun 1960s dan 1970s rona urban mulai dibahas dan bahasan
kota kian meningkat. Segmen pembacanyapun menjadi ebih spesifik, seperti
panduan untuk ibu-ibu, pemuda.
Jelaslah belajar dari sejarah bahwa pembuatan Panduan
Perjalanan atau jelajah baik dalam bentuk travel guide atau architectural guides
bukan semata wujud perpaduan antara kegiatan melancong namun juga berdampak
pada akumulasi pengetahuan dan apresiasi arsitektur, lewat kegiatan perekaman
dan publikasi obyek-obyek arsitektural. terlihat
bahwa buku Panduan Jelajah seperti ini tidak hanya berfungsi untuk memandu, namun
juga sebagai sarana belajar dan menanamkan kesadaran akan bangunan sebagai warisan
pusaka, dan bahkan secara politis sebagai sarana menanamkan nilai-nilai budaya, nasionalisme
serta berbagai bentuk sinergi industri yang mendukung upaya pelestarian.
Berikutnya mari kita mulai masuk ke dalam isi bahasan….
[4]
Gids historische
stadswandelingen indonesie secara harfiah berarti “panduan jalan-jalan kota
bersejarah”. Tak aneh karena, memang secara khusus buku ini mengasumsikan
pelancong akan berjalan kaki. Namun saya bisa bilang bahwa “panduan
jalan-jalan” ini lebih merupakan “panduan arsitektural” atau architectural guides, karena ia
memperkenalkan topik arsitektur lengkap dengan informasi mengenai sejarah dan
detil informasi pendukungnya, sekalipun karakter informasi arsitekturalnya lebih
mirip sebagai sebuah kompendium atau sebuah senarai bangunan bangunan pusaka di
9 kota. Beberapa buku panduan perjalanan seperti yang dibuat oleh Dorling
Kindersley misalnya menyajikan informasi arsitektural yang detil hingga denah,
aksonometri dan detil.
Namun sangat bisa dimengerti bahwa panduan jelajah ini
memang nampaknya lebih bersifat mengenalkan dan lebih diperuntukan bagi
kalangan pemerhati arsitektur yang seluas-luasnya dan tak secara khusus arsitek.
Publikasi di Belanda kemungkinan juga dikarenakan adanya kebutuhan masyarakat
Belanda sendiri untuk berapresiasi dan bernostalgia megenai tempat tempat yang
pernah menjadi bagian dari dirinya.
Sistematika buku ini dibuat cukup baik, lugas dan konsisten
mulai dari pengenalan dari pihak penulis, penyunting dan penerbit, perkenalan
atas materi berupa latar belakang historis, sosial dan kultural dari kota-kota yang
dibicarakan sejak masa pramodern hingga setelah kemerdekaan. Materidari masing-masing bagian diurai mulai dari latar
belakang sejarah, sosial dan budaya, lalu diikuti oleh skema panduan jelajah dalam bentuk peta
panduan dan detil informasi dari masing-masing
titik jelajah, dengan uraian bangunan yang dijadikan tujuan jelajah.
Pertautan antar informasi mulai dari yang paling umum dan yang khusus
dihadirkan dengan baik dan menarik, seperti layaknya hyperlink dalam web.Penomoran menyerupai hyperlink menjadikanya
cukup mudah ditelusuri.Informasi yang tersedia Untuk masing-masing bangunan
yang disebut pun cukup kaya- bukan hanya
nama bangunan dan langgam yang digunakan, namun juga nama arsitek dan
peristiwa-peristiwa unik dan bersejarah dari yang kecil hingga besar. Aspek
lain yang sangat berperan adalah tata atur dari buku dengan pembedaan yang secara
visual dibuat dengan menggunakan perbedaan tema warna. Entah mengapa Bandung diberi warna biru.apakah karna unsur Persib?
Memang ini lah salah satu fakta yang jelas dikerangkakan
dalam Gids ini, yaitu bahwa kekayaan
Bandung memang adalah arsitekturnya – Kota
Pusaka. Mirabilia Urbis Romae
dibuat sebagai sebuah panduan memahami kota pusaka Roma, tanpa pretensi membuat
sebuah standwendelingen atau architectural guides, namun adalah fakta
bahwa kekayaan Roma adalah kota dan bangunanya. Karena itu harapanya adalah
bahwa Gids ini akan membangkitkan
kesadaran akan kekayaan bandung pada bangunan arsitektural dan tata
kotanya.
Demikian kayanya informasi yang dimiliki sehingga memang ada
kecenderungan bagi pelancong yang tak
terlalu suka membaca, akan menganggap buku ini cukup melelahkan untuk dibaca,
apalagi dengan font yang kecil dan ukuran format B5 menjadikanya sedikit kurang
handy. Karena itu sangat disarankan
para pembaca untuk membaca buku ini sebelum perjalanan di mulai, untuk
membiasakan diri.
[5]
Gaya penulisan naratif-deskriptif yang sangat lugas membuat
jalinan peristiwa dan pertautan antara berbagai informasi mudah diikuti, layaknya
sebuah cerita yang mengalir. Materi
diurai secara lintas disiplin: arsitektur, tata kota, budaya urban, sejarah
Indonesia. Gambar-gambar yang disajikan dapat membuat pembaca tanpa harus ikut berjalanpun bisa terbawa ke masa lalu mengmajinasikan
Bandung seperti yang diharapkan penulisnya.
Keterbatasan informasi mengenai arsitektur Modern di Indonesia juga akan menempatkan
buku ini berdampingan dengan buku akademis sejarah arsitektur, seperti yang
selama ini ditulis oleh penulis seperti Bapak Handinoto, Yulianto Sumalyo,
Dibyo Hartono. Secara ilmiah materi buku ini ditunjang oleh sumber-sumber
sekunder yang cukup sebetulnya cuku umum digunakan dalam penelitian arsitektur
di Indonesia-Kolonial, seperti Huib Akihary, F colombijn, PJM Nas, Corr.
Paschier, PKM. Van Roosmalen, Voskuil. Dan dari Indonesia, seperti Josef
Prijotomo, Jo Santoso, gunawan Tjahjono, Pratiwo, Nina. Lubis, buku-buku
pemerintahan Uraian buku ini juga mengikuti norma yang cukup bertanggung jawab,
seperti pencantuman daftar pustaka, index dan glosarium. Memang pada akhirnya setiap
uraian tentang kota adalah layaknya sebuah makalah naratif mengenai kota pusaka
yang dimulai dengan latar belakang,
penjelasan singkat mengenai skema peta jelajah dan detil uraian dari masing-masing obyek jelajah. Tentunya hal ini akan
memunculkan beberapa pertanyaan akademis untuk lain, apakah sebuah buku panduan jalan-jalan bisa dijadikan sebuah referensi
akademis?
Bila melihat sejarah yang diurai sebelumnya sebetulnya
memang tak menjadi masalah karena memang ada sebuah batasan antara buku
arsitektur dan buku pariwisata ternyata juga porus. Saya hanya bisa mengatakan
bahwa memang bagi pembaca kritis bagaimana kesahihan beberapa pernyataan diukur
akan menjadi pertanyaan karena tidak adanya uraian tentang metoda dan cara dari data dan informasi diperoleh
dan ditata. Hal ini membuat pembaca dituntut sepenuhnya percaya pada
penrnyataan penulis. Karena itu terutama bagi kalangan akademis yang hendak
mempergunakan buku secara untuk kepentingan ilmiah, panduan jelajah ini tetap perlu
diperlakukan sebagai sebuah informasi awal yang perlu diverifikasi lebih jauh. Panduan
jelajah kota-kota pusaka ini, setara dengan buku populer regional “Semerbak Kota Bandung” atau “Bandung Tempo Dulu”,
sebuah narasi populer yang memberi gambaran holistik mengenai situasi Bandung.
[6]
Menurut saya, inovasi luar biasa dari buku ini adalah kemampuannya menjalin
sekian banyak kajian-kajian ilmiah dan
naratif mengenai arsitektur, kota,
budaya dan sosiologi Kolonial yang berserakan
kedalam satu narasi “epik-urban”. Ia juga berguna bukan hanya bagi wisatawan
maupun, pula, kalangan akademis, namun juga masyarakat awam, bukan saja
masyarakat Indonesia tapi juga masyarakat Belanda. Sifat naratif dari panduan
ini menjadikan penggalan-penggalan kisah yang biasanya terdengat sangat dingin
dan statis menjadi sangat hangat dan hidup, dan bahkan memberi logika yang
berbeda dari yang biasa dikenal. Beberapa uraian yang biasa dipahami secara
terpisah namun menjadi terpaut padu secara lugas misalnya adalah:
·
keberadaan masyarakat Tionghoa di masa yang
berebda, seperti VOC, pemerintahan Hindia Belanda dan pasca Kemerdekaan berkorelasi
dengan miliu, lingkungan dan bangunan yang berbeda pada arsitektur pecinan di
era VOC, Hindia Belanda dan pasca kemerdekaan
·
Sulit bagi l\kita utuk membayankan jawa tanpa
jalan Anyer dan Panarukan, ketika waktu translasi
manusia dalam ruang adalah 30 hari, yang menjadi 4-8 hari setelah jalanan
dibangun.
·
Biasanya kita mengenal sejarah desentralisasi sebagai
produk dari politik etis, namun uraian dalam buku ini membuat saya membacanya
sebagai sebuah narasi kapitalisme global yang melahirkan kebutuhan-kebutuhan
lingkungan binaan baru beserta inovasinya, yang kemudian melahirkan arsitektur
modern di Indonesia. Diskusi tentang itupun
tidak hanya berhenti pada langgam, namun juga tipologi baru, manajemen baru,
dan pranta- pranta baru yang berkaitan dengan kota.
·
Fakta pembagian kelas sosial warga Eropa, warga
pribumi dan warga Tionghoa yang secara mainstream disajikan sebagai perwujudan
rasisme, disajikan sebagai wujud pembagian administrasi demografi berdasarkan
manajemen karesidenan dan kabupaten.
Bilapun ada hal hal yang mungkin agak mengganjal adalah
penggunaan penggunaan istilah yang tidak biasa, terutama bagi pembaca
indonesia, seperti beberapa istilah:Luifel,bukanya
kanopi dan Piron, bukanya finial.
Namun itupun masih teratasi dengan adanya glosarium. Pengertian gaya atau
langgam pada istilah arsitektur Indis tertutup dan terbuka, atau arsitektur Pecinan
tertutup dan terbuka, itupun bukanlah istilah umum yang sering kita pakai dalam
dunia akademis. Tentunya situasi ini tak dapat dibebankan kepada penulis.
Secara umum memang belum ada pembahasan yang terlalu mendalam untuk membangun
kesepakatan mengenai derivatif gaya gaya tersebut. Ketika di satu sisi Art Deco disebut, Art Nuoveau pun juga disebut. Namun apa gerangan perbendaanya
ketika ini dibicarakan. Dalam bahasan ini sempat disebut Arsitektur Indis.
Dalam buku ini Arsitektur Indis dipandang secara normal sebagai sebuah gaya
hibrida yang normal yang merupakan wujud kreativitas lokal yang bersifat
informal. Sementara konotasi Arsitektur Indis dalam pemahaman arsitektur
Indonesia seringkali dianggap disebut sebagai seni rakyat dengan nilai yang
tidak adiluhung.
II. MATERI
KHUSUS-BANDUNG
[7]
Untuk materi khusus saya akan ambil salah satu contoh kasua Bandung, Seperti
halnya pada uraian umum, materi khusus juga diuraikan secara sangat mengalir
dan sistematis, mulai dari Bandung sebagai pindahan kota karesidenan, menjadi kota perkebunan hingga menjadi pemukiman warga
Barat, gementee dan calon ibukota
negara. Ketika sejarah umum nasional lebih bercerita mengenai suksesi kekuasaan,
dan sejarah arsitektur dan tata kota hanya menyampaikan langgam, tipologi dan
teknologi, buku ini membahas keduanya sebagai sebuah jalinan kisah
transformasi yang dialami oleh masyarakat dan dan lingkunyannya yang kemudian
refleksinya terwujud dalam ungkapan arsitektur dan kota.
Ketika sejauh ini, dalam konteks pusaka, Bandung lebih dipahami lewat estetika,
tektonika dan langam arsitektur, dan dalam konteks kota mengenai garden city, dalam buku ini arsitektur
dan lingkungan binaan di Bangunan dinarasikan sebagai cerita sebuah inovasi kota.
THS digambarkan sebagai bagian dari rangkaian inovasi kota yang tak dapat
dipisahkan dari kemunculan fungsi-fungsi lain seperti Jarbeurs atau pusat ekshibisi, institut kanker, institut orang
buta, observatorium, rumah sakit dan kantor perusahaan telepon. Lebih jauh lagi
inovasi tersebut juga ternyata inovasi tersbut juga adalah wujud pro aktif
warga Eropa di Bandung pada masa itu yang diwadahi lewat socialita seperti Bandung Vooruit. Tak banyak yang paham
bahwa atas dasar kelengkapan yang dimiliki Bandung lewat fungsi-fungsi ini
peristiwa KAA diputuskan diselenggarakan di Bandung. Bukan hanya aspek
engineering, braga menjadi mirip Broadway dengan gambaran fashion peranncis dan
toneelnya.
[8]
Buku ini juga memberikan refleksi balik terhadap konteks dari definisi “Kota
Pusaka” yang sudah didefinisikan oleh editor di awal uraian. Namun tentunya
konsep pusaka bisa berbagai macam. Kita belum banyak mempertimbangkan bangunan
pasca Kemerdekaaan sebagai bagian dari artefak Pusaka, sekalipun dalam buku ini
juga dibahas kantor telepon dan gedung KAA yang renovasinya menghadirkan wujud tahun
1950an. Apakah Gaya arsitektur Jengki
juga bisa dipertimbangkan sebagai arsitektur Pusaka, sekalipun bukan produk
kolonialisme Belanda? Lalu bagaimana dengan kreativitas lokal yang mengambil
inspirasi arsitkektur Kolonial yang mungkin bisa dipahami dengan kacamata
etnografi dan sosiologi, seperti pada Deco Kampung.
Konteks Pusaka dalam buku ini melekat pada artefak yang memang sudah banyak dipahami
secara umum dan didiskusikan secara intensif – yaitu sebuah arsitektur yang
dirancang sebelum kemerdekaan dan dibangun dalam skema-skema yang sudah
direncanakan oleh pemerintah Hindia Belanda. Selebihnya, masih banyak ruang
bagi penulis-penulis lain untuk membuat seperti apa yang sudah dilakukan bapak
upaya Emile Leushuis ini untuk membahas fokus fokus pusaka yang lain, baik yang
bersifat arsitektural maupun non-arsitektural.
Sejauh ini bandung sendiri sudah memiliki panduan jelajah seperti
Geo-Track yang mengkhususkan diri pada jelajah geologi yang dibuat oleh bapak T
Bachtiar bersama ibu Dhian Damajanindan Budi Brahmantio. Sama seperti halnya
bapak Emile Leushuis, bapak Bachtiar ini juga adalah seorang Geografer. Atau
Peta Angkot bandung yang dibuat oelh teman teman di anggota sebuah Komunitas
Peneliti Independen.
[9]
bagi masyarakat pariwisata buku ini kembali menjadi bukti bahwa salah satu
penggerak utama dari pelestarian bangunan bersejarah adalah para komunitas pariwisata. Karena itu ketika kini bisnis pariwisata
di Bandung justru kini menjadi salah satu penyebab berhilanganya bangunan
bangunan bersejarah, buku ini juga menjadi sebuah sarana apresiasi dan kritik
terhadap bangunan bersejarah, di tengah-tengah carut marut dampak industri
pariwisata masa kini di Bandung.
Pada akhirnya kehadiran buku Panduan Jelajah ini layak
mendapat apresiasi yang tinggi, karena seperti disampaikan oleh sang editor
bahwa “melalui buku ini Emile Leushuis secara sederhana mengajak kita semua
mengenali aset-aset pusaka yang merupakan keunikan yang khas dari setiap kota”.
Saya sangat yakin dengan segala kelebihan dan keterbatasannya, buku ini akan
sangat bermanfaat untuk memberi wawasan pengetahuan yang kaya mengenai konsep
Kota Pusaka.
Bandung 30 Januari 2015
Indah Widiastuti